eksis teruz sahabatku teman kelasku gaya titik aku sama teman2

Sabtu, 22 Juni 2013

FUNGSI OUTPUT SISTEM POLITIK INDONESIA

FUNGSI OUTPUT SISTEM POLITIK INDONESIA




A. FUNGSI OUTPUT SISTEM POLITIK
Membicarakan sebuah sistem politik, kita harus paham dahulu apa yang dimaksud dengan sistem. Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari beberapa unsur, elemen, komponen yang berbeda fungsi tetapi saling berkaitan dan fungsional. Sedangkan sistem politik adalah mekanisme dari seperangkat fungsi yang melekat pada struktur-struktur politik dalam rangka membuat dan melaksanakan kebijakan yang mengingat masyarakat.
Menurut Haryanto, sistem politik merupakan sistem interaksi atau hubungan yang terjadi di dalam masyarakat, melalui mana dialokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, dan pengalokasian nilai-nilai itu dengan mempergunakan paksaan fisik yang sedikit banyak bersifat sah.
Menurut Almond, sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapat dalam semua masyarakat yang bebas dan merdeka yang melaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik dalam masyarakat ataupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya).
Dalam proses pembuatan dan penerapan kebijakan di Indonesia menggunakan teori sistem yang diperkenalkan oleh Gabriel almond, dimana terdapat bagian pembuatan dan penerapan sebuah kebijakan dalam struktur sistem politik yang lebih jelas. Fungsi dari sebuah proses pembuatan kebijakan terdiri dari urutan aktifitas yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya dalam tiap sistem politik.
Fungsi-fungsi output sistem politik meliputi:
1.    Pembuatan kebijakan
2.    Penerapan kebijakan
3.    Ajudikasi kebijakan
Proses fungsi perlu dipelajari karena memainkan peranan dalam mengarahkan pembuatan kebijakan. Sebelum kebijakan dirumuskan, beberapa individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus memutuskan apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik.
Proses politik dimulai ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan. Kemudian input tersebut di agregasi ke dalam beberapa alternatif pilihan agar kebijakan yang dibuat dapat berjalan efektif yang kesemuanya tersebut dijalankan oleh partai politik sebagai sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan komunikasi politik. Kemudian kebijakan dibuat oleh badan legislatif dan eksekutif, kemudian penerapan kebijakan yang dilakukan oleh birokrasi, lalu penghakiman kebijakan atas penyimpangan yang terjadi, kemudian terjadi feedback lagi untuk kemudian diproses menjadi sebuah kebijakan yang baru.
Apabila input dalam pembuatan kebijakan berjalan dengan tidak seimbang, maka output nya pun akan berjalan tidak baik. Masyarakat banyak yang tidak setuju dengan kebijakan yang dibuat, akan tetapi bagaimanapun lingkungan juga mempengaruhi proses kebijakan, alhasil kita hanya bisa berharap dari feedback yang terus kita lakukan untuk memperbaiki kebijakan yang telah dibuat. Pembuatan dan pelaksanaan kebijakan sangat tergantung dimana sistem itu berada, apakah di dalam sistem liberal, komunis, ataupun demokrasi. perbedaan sistem pemerintahan mengakibatkan berbeda pula bagian dari pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.

B. PEMBUATAN DAN PENERAPAN KEBIJAKAN SEBAGAI BAGIAN DARI FUNGSI SISTEM POLITIK DI INDONESIA

1. Fungsi Pembuatan Kebijakan
Fungsi pembuatan kebijakan dilaksanakan oleh lembaga Legislatif yang meliputi DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi daerah.
2. Fungsi Penerapan Kebijakan
Fungsi penerapan kebijakan dilaksanakan badan Eksekutif yang meliputi dari pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah.
3. Fungsi Ajudikasi Kebijakan
Fungsi adjudikasi kebijaan dilaksanakan oleh badan peradilan yang meliputi MA, MK, Komisi Yudisial serta badan-badan kehakiman.
Pembuatan kebijakan dan penerapan kebijakan di Indonesia dapat dibedakan menjadi 4 tahap, yaitu :
1.    Masa Demokrasi Liberal
2.    Masa Demokrasi Terpimpin
3.    Masa Demokrasi Pancasila
4.    Masa Reformasi
Dalam menganalisa sitem politik dapat digunakan beberapa aspek untuk membedakan proses yang terjadi dalam suatu masa dengan masa yang lain agar diperoleh perbedaan yang akan lebih memudahkan kita untuk membaca output yang terbentuk, antara lain :
  • Penyaluran tuntutan
  • Pemeliharaan nilai
  • Kapabilitas
  • Gaya politik
  • Kepemimpinan
  • Partisipasi massa
  • Keterlibatan militer
  • Aparat negara
  • Stabilitas

I.     Masa Demokrasi Liberal
Pada masa demokrasi liberal merupakan awal dari perjalan Indonesia sebagai sebuah negara. Sebagaimana seperti sebuah negara yang lain, semuanya dimulaui dengan pembangunan ekonomi, akan tetapi Soekarno lebih suka memilih berperang daripada mengurus urusan ekonomi. Penyaluran tuntutan dalam pembuatan kebijakan pun tinggi, tetapi banyak yang belum memadai karena pendidikan masyarakat yang masih rendah.
Partai politik nya pun ada banyak sebagai wadah untuk menyalurkan tuntuan agar dibuat kebijakan, tetapi tuntutan ini banyak juga yang belum terpenuhi.
Pada saat ini Indonesia menggunakan sistem kabinet parlementer, sehingga kestabilan pun jauh dari yang diharapkan. Sering sekali terjadi pergantian kabinet sehingga kebijakan tidak dapat dijakankan secara maksimal. Ada beberapa kebijakan di bidang ekonomi yang dibuat, akan tetapi tidak berjalan maksimal, seperti sistem ekonomi Ali-Baba pada saat kabinet Ali Sastroamijoyo.
Kebijakan sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Kebijakan ini berasal dari rakyat, input nya pun sangat demokratis, akan tetapi seperti yang telah saya jelaskan tadi sistem yang ada belum memadai.
Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Feedback yang diberikan oleh masyarakat pun juga tidak memadai untuk dilaksanakan karena terlalu cepatnya pergantian kabinet dan setiap kabinet yang ada mempunyai tujuan utama yang berbada pula. Alhasil feedback nya tidak dapat diapresiasi oleh pemerintah.

II.   Masa Demokrasi Terpimpin
Pada masa demokrasi terpimpin yang saai ini juga dipimpin oleh presiden yang sama pada masa demokrasi liberal yaitu Sukarno. Pada masa demokrasi terpimpin pembuatan kebijakan sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah. Soekarno dalam posisi ini memainkan peranan penting dalam setiap pembuatan kebijakan.
Input dan feedback dari masyarakat dibatasi karena asas nasakom. Partai politik dibatasi dan tidak sebanyak pada masa demokrasi liberal. Semuanya diatur pemerintah. Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme).
Salah satu bentuk kebijakan yang dibuat adalah kebijakan mercusuar, dimana Indonesia membangun banyak mercusuar di daerah terluar Indonesia guna melawan Malaysia dimana pada saat itu sedang terjadi konfrontasi dengan Malaysia.
Walaupun Indonesia dan Malaysia tidak mungkin terjadi peperangan, akan tetapi Soekarno ingin menunjukkan kekuatan pada dunia tentang kehebatan Indonesia. Kebijakan ini bersumber dari Soekarno dan tidak ada feedback karena sistem yang dipakai saat itu adalah sistem demokrasi terpimpin. Partisipasi yang rendah ditambah dengan asas nasakom membuat sistem politik menjadi stabil dan dapat dikendalikan oleh pemerintah. Alhasil masyarakat sangat sedikit dilibatkan dalam pembuatan kebijakan, sehingga output yang dibuat tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.

III.     Masa Orde Baru
Pada masa orde baru ini kepemimpinan Soeharto yang begitu otoriter mempunyai banyak peranan dalam proses pemnuatan dan pelaksanaan kebijakan. Dimulai dari proses input yang terjadi dimana penyaluran tuntutan yang dapat dilakukan melalui partai politikpun dibatasi, agar rakyat dibuat selalu menerima kebijakan yang ada.
Selain dengan fusi partai, pemerintah dalam menciptakan kestabilan politik melakukan asas tunggal dan floating mass, dimana rakyat tidak boleh ikut berpolitik. Pembuatan kebijakannya pun dipegang oleh Soeharto/eksekutif. Lembaga legislatif yang dipilih oleh rakyat untuk mewakili kepentingan rakyat juga telah dikuasai dan dipegang kendalinya oleh eksekutif. Partisipasi yang berasal dari rakyat untuk melakukan feedback pun sangat rendah. Barang siapa yang ingin menjadi aparat pemerintah juga harus taat kepada Golkar. Sehingga birokrasi dalam hal ini yang menjalankan kebijakan tidak berjalan netral dan selalu ada intervensi dari eksekutif.
Pada masa ini tentara mengambil banyak sekali peran dalam pemerintahan dengan dwifungsi ABRI. Semua aspek kehidupan selalu melibatkan ABRI daik di tingkat lokal maupun nasional. Banyak sekali kebijakan yang tidak berjalan seimbang karena input yang dibatasi kemudian semua peran input diambil alih oleh eksekutif.
Dapat kita ambil contoh kebijakan yang tidak sesuai dengan harapan rakyat adalah kebijakan penyeragaman. Dimana dapat kita ketahui negara Indonesia adalah negara yang plural, akan tetapi dianggap sama melalui asas tunggal. Input nya tidak ada, akan tetapi bisa muncul sebuah kebijakan. Kebijakan ini sepenuhnya berasal dari eksekutif agar lebih mudah mengendalikan pemerintahan.
Berdalih sebagai salah satu bentuk pembangunan, akan tetapi kebijakan ini pada pelaksanannya tidak berjalan sesuai dengan harapan pemerintah. Feedback nya pun tak ada karena partisipasi masyarakat dibatasi dan masyarakat dipaksa menerima kebijakan yang ada. Bahkan pada masa ini efek yang ditimbulkan dari kebijakn yang diambil masih dapat kita rasakan sampai sekarang, seperti utang luar negeri yang banyak karena dipakai untuk subsidi berbagai kebutuhan masyarakat dimana dalam prosesnya juga tidak berasal dari input dan output yang seimbang.

IV.     Masa Reformasi
Pada masa Reformasi telah terjadi banyak perubahan dari segi sisitem politik yang berjalan, dimana sudah tak ada otoritarianisme dalam pemerintahan, para aparatur negara loyal kepada negara, bukan pada pemerintah sebagaimana terjadi pada masa orde baru. Dalam pembuatan kebijakannya pun telah melibatkan input dari masyarakat.
Sebagaimana kita tahu penyaluran tuntutan dari masyarakat sangat tinggi, terbukti dari munculnya berbagai macam partai politik sebagai sarana untuk melakukan input kebijakan yang kemudian akan di artikulasikan dalam sistem sosial politik di Indonesia, akan tetapi pada masa ini partisipasi yang dilakukan masyarakat untuk membuat input kebijakan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kalangan elite dan kalangan masyarakat bawah.
Kalangan elite banyak memegang peranan penting dalam pembuatan kebijakan, sehingga pada pelaksanaannya pun para elite akan lebih mudah mencapai keinginannya yang diwujudkan dalam kebijakan, sebaliknya masyarakat bawah yang sangat banyak jumlahnya dan sering melakukan input kebijakan yang dilakukan dengan ekstra parlementer seakan tidak digubris keinginannya. Pada masa ini penerapan kebijakan dan penghakiman kebijakan yang dilakukan oleh masyarakat agar menjadi feedback sehingga muncul sebuah kebijakan baru banyak yang dikendalikan oleh kalangan elite saja karena gaya politik pada masa reformasi bersifat pragmatis.
Walaupun masyarakat juga telah mempunyai wakil di dalam lembaga legislatif. Akan tetapi wakil ini berasal dari berbagai latar belakang yang juga mewakili berbagai kelompok kepentingan, sehingga banayk terjadi pro dan kontra dalam setiap kebijakan yang dianut. Seperti yang dapat kita ambil contoh yaitu kebijakan tentang subsidi BBM.
Naiknya harga BBM tak luput dari beragam penilaian. Mulai dari aksi demonstrasi menolak kenaikannya sampai kemudian persetujuan bahwa kenaikan harga BBM tak mungkin lagi kita tolak atau tahan, dengan dua alasan mendasar. Pertama, karena harga minyak dunia sementara melonjak. Kedua, untuk mengurangi pembiayaan negara (subsidi) atas sebagian besar masyarakat yang seharusnya tidak layak untuk disubsidi, yakni orang-orang kaya.
Proses inputnya terdiri dari dua, kelompok yang menolak naiknya harga BBM yang diwakili secara pas oleh kelompok mahasiswa dan para aktivis buruh yang memang secara nyata paling rentan terancam dengan kebijakan tersebut. Kelompok kedua adalah mereka yang mendukung kenaikan harga BBM. Kelompok yang mendukung ini dapat dibagi dua, kelompok yang melihatnya sebagai bagian dari penyelamatan ekonomi negara (anti subsidi) dan kelompok yang secara langsung dan tak langsung justru diuntungkan dengan naiknya harga BBM.
Ketika dikonversi untuk dijadikan sebagai sebuah kebijakan, yakni bagaimana seharusnya BBM itu dikelola. Terjadi proses tarik-menarik kepentingan di dalam parlemen Indonesia (DPR). Antara partai politik yang mendukung dan tidak mendukung naiknya harga BBM. Proses politik yang terjadi, pada awalnya, demikian alot dan keras. Partai-partai politik yang anti kenaikan BBM kelihatan sangat bersungguh-sungguh untuk tetap sejalan dengan sebagian masyarakat untuk menolak naiknya harga BBM.
Tetapi karena kuatnya kekuatan kelompok yang mendukung naiknya harga BBM di DPR, kebijakan naiknya harga BBM tidak dapat diubah lagi. Kebijakan itu dengan sendirinya menjadi output dari pemerintahan SBY-Kalla. Tetapi meski demikian, ada sebuah kebijakan yang juga lahir di samping kebijakan naiknya harga BBM, yakni kebijakan kompensasi (bantuan langsung tunai / BLT) bagi masyarakat kecil yang terimbas dengan keluarnya kebijakan menaikkan BBM.
Pada tataran feed-back atau umpan balik, jelaslah bahwa hingga saat ini, sebagian masyarakat masih tetap menolak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan yang ada. Adapun kebijakan BLT pada kenyataannya tidak mampu menjadi penopang ekonomi masyarakat menghadapi kenaikan harga sembako. Apalagi ternyata, yang mendapatkan BLT tidak semuanya berkategori miskin, yang menurut pemerintah mereka-mereka inilah yang seharusnya mendapatkannya. Kebijakan BLT ternyata tetap disalahgunakan oleh aparat pemerintah di tingkatan bawah. Akibat yang terjadi kemudian adalah terjadinya pemiskinan secara terstruktur oleh negara terhadap masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar